Minggu, 28 Februari 2021

ISLAM NUSANTARA

 

Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?

 

Makassar, NU Online
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara? Pertanyaan ini mengawali diskusi Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/4) petang. Para peserta diskusi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia timur selama lebih dari dua jam diajak mengulas topik tersebut berikut turunannya.<>

Pada forum bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam” ini panitia menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain pakar ushul fiqh yang juga Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir, guru besar filologi Islam UIN Jakarta Oman Fathurrahman, sejarawan Agus Sunyoto, pakar tasawuf KH Mustafa Mas’ud, dan Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore.

Oman yang setuju dengan istilah itu mengatakan, ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi.

“Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi,” katanya. “Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia,” imbuhnya.

Menurut Oman, Islam Nusantara ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.

Sementara Kiai Afif yang menyoroti Islam Nusantara dari sudut pandang fiqih mengatakan, istilah “Islam Nusantara” memang agak ganjil didengar lantaran Islam memang sumbernya satu dan bersifat ilahiyah. Tapi, katanya, harus diperhatikan bahwa Islam juga terealisasi dalam praktik keseharian. Artinya, selain ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi).

Karena itu, Kiai Afif menilai jika ada Islam Nusantara maka ada juga fiqih Nusantara. “Fiqih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat,” papar pengarang kitab Fathul Mujib al-Qarib ini.

Salah satu pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo tersebut menekankan adanya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.

Lebih jauh Azhar Ibrahim dari Universiti Nasional Singapura memandang Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar.

Ia mengatakan, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terhimpit oleh konflik dan keganasan.

“Walaupun tidak menelurkan gagasan filsafat yang rasional ataupun menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi, Islam Nusantara mempunyai potensi besar untuk menyumbang kepada dunia Islam, malah perdaban dunia,” tuturnya.

Menurutnya Azhar, hal tersebut berakar pada enam poin penting, yakni pengalaman sejarah, orientasi agama yang dominan, pribumisasi Islam yang mengakar, penghargaan dan keteguhan terhadap turats (tradisi), terbangunnya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam inklusif dan dialogis, serta peran ormas dan para pemikir Indonesia yang mencerahkan.

Meski mengajukan fakta dan landasan normatif, semua pembicara tidak memberikan pengertian definitif dan operasional tentang istilah “Islam Nusantara”. Namun, mereka sepakat bahwa ia berkarakter membumi dengan realitas kebudayaan setempat.

“... yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh semua warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau,” kata Azhar mengutip pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menutup pembicaraan. (Mahbib)

 

Makassar, NU Online
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara? Pertanyaan ini mengawali diskusi Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/4) petang. Para peserta diskusi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia timur selama lebih dari dua jam diajak mengulas topik tersebut berikut turunannya.<>

Pada forum bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam” ini panitia menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain pakar ushul fiqh yang juga Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir, guru besar filologi Islam UIN Jakarta Oman Fathurrahman, sejarawan Agus Sunyoto, pakar tasawuf KH Mustafa Mas’ud, dan Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore.

Oman yang setuju dengan istilah itu mengatakan, ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi.

“Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi,” katanya. “Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia,” imbuhnya.

Menurut Oman, Islam Nusantara ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.

Sementara Kiai Afif yang menyoroti Islam Nusantara dari sudut pandang fiqih mengatakan, istilah “Islam Nusantara” memang agak ganjil didengar lantaran Islam memang sumbernya satu dan bersifat ilahiyah. Tapi, katanya, harus diperhatikan bahwa Islam juga terealisasi dalam praktik keseharian. Artinya, selain ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi).

Karena itu, Kiai Afif menilai jika ada Islam Nusantara maka ada juga fiqih Nusantara. “Fiqih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat,” papar pengarang kitab Fathul Mujib al-Qarib ini.

Salah satu pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo tersebut menekankan adanya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.

Lebih jauh Azhar Ibrahim dari Universiti Nasional Singapura memandang Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar.

Ia mengatakan, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terhimpit oleh konflik dan keganasan.

“Walaupun tidak menelurkan gagasan filsafat yang rasional ataupun menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi, Islam Nusantara mempunyai potensi besar untuk menyumbang kepada dunia Islam, malah perdaban dunia,” tuturnya.

Menurutnya Azhar, hal tersebut berakar pada enam poin penting, yakni pengalaman sejarah, orientasi agama yang dominan, pribumisasi Islam yang mengakar, penghargaan dan keteguhan terhadap turats (tradisi), terbangunnya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam inklusif dan dialogis, serta peran ormas dan para pemikir Indonesia yang mencerahkan.

Meski mengajukan fakta dan landasan normatif, semua pembicara tidak memberikan pengertian definitif dan operasional tentang istilah “Islam Nusantara”. Namun, mereka sepakat bahwa ia berkarakter membumi dengan realitas kebudayaan setempat.

“... yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh semua warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau,” kata Azhar mengutip pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menutup pembicaraan. (Mahbib)

 

Makassar, NU Online
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara? Pertanyaan ini mengawali diskusi Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/4) petang. Para peserta diskusi yang datang dari berbagai daerah di Indonesia timur selama lebih dari dua jam diajak mengulas topik tersebut berikut turunannya.<>

Pada forum bertema “Islam Nusantara sebagai Islam Mutamaddin Menjadi Tipe Ideal Dunia Islam” ini panitia menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain pakar ushul fiqh yang juga Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir, guru besar filologi Islam UIN Jakarta Oman Fathurrahman, sejarawan Agus Sunyoto, pakar tasawuf KH Mustafa Mas’ud, dan Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore.

Oman yang setuju dengan istilah itu mengatakan, ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi.

“Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi,” katanya. “Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia,” imbuhnya.

Menurut Oman, Islam Nusantara ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.

Sementara Kiai Afif yang menyoroti Islam Nusantara dari sudut pandang fiqih mengatakan, istilah “Islam Nusantara” memang agak ganjil didengar lantaran Islam memang sumbernya satu dan bersifat ilahiyah. Tapi, katanya, harus diperhatikan bahwa Islam juga terealisasi dalam praktik keseharian. Artinya, selain ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi).

Karena itu, Kiai Afif menilai jika ada Islam Nusantara maka ada juga fiqih Nusantara. “Fiqih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat,” papar pengarang kitab Fathul Mujib al-Qarib ini.

Salah satu pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo tersebut menekankan adanya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.

Lebih jauh Azhar Ibrahim dari Universiti Nasional Singapura memandang Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar.

Ia mengatakan, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terhimpit oleh konflik dan keganasan.

“Walaupun tidak menelurkan gagasan filsafat yang rasional ataupun menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi, Islam Nusantara mempunyai potensi besar untuk menyumbang kepada dunia Islam, malah perdaban dunia,” tuturnya.

Menurutnya Azhar, hal tersebut berakar pada enam poin penting, yakni pengalaman sejarah, orientasi agama yang dominan, pribumisasi Islam yang mengakar, penghargaan dan keteguhan terhadap turats (tradisi), terbangunnya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam inklusif dan dialogis, serta peran ormas dan para pemikir Indonesia yang mencerahkan.

Meski mengajukan fakta dan landasan normatif, semua pembicara tidak memberikan pengertian definitif dan operasional tentang istilah “Islam Nusantara”. Namun, mereka sepakat bahwa ia berkarakter membumi dengan realitas kebudayaan setempat.

“... yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh semua warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau,” kata Azhar mengutip pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menutup pembicaraan. (Mahbib)

 

Jumat, 29 Mei 2020

PENGARUH AJARAN ISLAM TERHADAP BANGSA ARAB



A.          A.      LATAR BELAKANG
Arab merupakan negara yang memiliki keterkaitan sejarah dengan munculnya Islam. Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah Arab ini, disebut masa jahiliyyah. Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka. Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria. Rentetan peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya.



B.      KONDISI MASYARAKAT ARAB  PADA PERIODE KLASIK ( SESUDAH ISLAM)
Menurut Harun Nasution, periode klasik sejarah Islam ini dipilah menjadi dua. Pertama, 650-1000 M ( Periode ini adalah masa ekspansi, integrasi, dan keemasan Islam). Dengan demikian, ini merupakan kemajuan Islam I. Kedua, 1000-1250 M (masa disentegrasi). Pada periode itu, muncul dua gerakan keilmuan dalam sejarah intelektual Islam yakni skolastik dan humaniora.
1.      Masa Kemajuan Islam I (650-1000 M)
Dalam sejarah, umat islam mengalami puncak kemajuan pada periode klasik (650-1250 M). Dan, puncak kemajuan itu terjadi sekitar tahun 650-1000 M. Oleh karena itu masa ini disebut masa kemajuan Islam I. Ulama besar yang hidup pada masa ini tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqh, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah, maupun bidang pengetahuan lainnya. Periode klasik ini berakhir ketika Baghdad jatuh ke tangan Hulago Khan.[1]
Pada masa kemajuan itu, ditandai dengan peristiwa hijrah Nabi ke Madinah (16 Juli 622 M). Nabi diutus untuk menyebarkan agama Islam dan perantaranya adalah Al-Qur’an. Karena pada saat itu masyarakat Jahiliyyah sangat gandung dengan kesusastraan, maka dari itu Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa sastra, seperti yang lazim dipakai oleh masyarakatnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan:
a.       Untuk menyesuaikan tradisi dengan masyarakatnya
b.      Untuk menantang mengungguli syair-syair Jahiliyyah
Selama 10 tahun Rasul tinggal di Madinah, sehingga beliau dan kaum muslimin mendapatkan kesempatan untuk menaklukkan Makkah dan membebaskan Ka’bah dari berbagai berhala yang sebelumnya berada disekitarnya. Di Madinah juga Nabi membuat landasan kuat bagi kehidupan umat Islam yaitu masjid Nabawi, yang merupakan tempat untuk mempersatu umat.[2] Nabi wafat  di usia 63 tahun pada tahun 632 M/ 11 H. Setelah itu kepemimpinan umat Islam berada di tangan khalifaur rasyidin.
Khalifah pertama yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq (w. 634 M/ 11 H). Kebijakan pertama yang dilakukannya yaitu memerangi orang-orang murtad dan golongan yang menolak membayar zakat. Pada masa itu pula ia berhasil mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang sebelumnya berserakan dalam berbagai tulisan di pelepah kurma, batu tipis, tulang dan lembaran kain.
Pada saat Abu Bakar sakit, dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah terjadinya perselisihan dan permusuhan di kalangan umat islam.[3] Umar bin Khatab (w. 644 M/ 35 H). Beliau melanjutkan kepemimpinan Islam setelah Abu Bakar. Umar ketika sudah menjadi Kepala Negara telah mengubah nama kepala negara yang semula bergelar Khalifah al-Rasul menjadi Amir al-Mu’minin. Umar melanjutkan perluasan wilayah (Futuhat) ke tiga arah yaitu ke utara menuju wilayah Syria di bawah pimpinan Abu Ubaidah ibn Jarrah. Dilanjutkan kearah barat menuju Mesir di bawah pimpinan Amr ibn Ash, dan menuju ke timur ke arah Irak di bawah pimpinan Surahbil bin Hasanah. Yang ke arah timur selanjutnya disempurnakan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash. Iskandariyah pelabuhan besar Mesir, Al-Qadisiyah sebuah kota di Irak, Al-Madain ibukota Persia, serta kota Mosul dapat dikuasai.
Selanjutnya yaitu khalifah Usman bin Affan (w. 656M/35H), pada masa pemerintahannya ia berhasil menyusun Al-Qur’an dalam satu bentuk bacaan, yang sebelumnya memiliki banyak versi. Usman meninggal terbunuh usia 82 tahun ketika ia membaca Al-Qur’an akibat ketidakpuasan rakyatnya atas kebijakan politiknya yang cenderung nepotisme. Pada masa Ali bin Abi Tholib (w. 661M/40 H) terjadi berbagai kerusuhan dan kekacauan pasca terbunuhnya Usman. Ada satu keputusan yang ditetapkan Ali, yaitu memerangi kelompok pembangkang tersebut yang berujung pada perang Jamal yang dipimpin oleh Aisyah dan perang Shiffin yang dipimpin oleh Mu’awiyah.
Pemerintahan Abu Bakar sampai pada Ali disebut masa khulafaurrasyidin. Setelah  itu, beralih menjadi kerajaan turun temurun. Dinasti pertama didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w.661M/41H).[4]
Dinasti Basni Umayyah mencapai puncak kejayaan pada masa Al-Walid (w.715M/96H). Sedangkan, Umar bin Abdul Aziz (w.720M/101H) adalah seorang khalifah Umayyah yang terkenal dengan ketaqwaan, kezuhudan, dan kejujurannya. Ia adalah khalifah ketiga setelah Abu Bakar dan Umar dari Khulafaurrasyidin.
Secara umum masa kekuasaan dinasti Umayah berlangsung selama 91 tahun. Khalifah-khalifah besar dari dinasti Umayah adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (660-680 M)/40-60H), ‘Abd al-Malik bin Marwan (685-705M/65-86H), al-Walid bin ‘Abd al-Malik(705-715M/86-96H0, Umar bin ‘Abd Aziz (717-720M/99-101H), Hisyam bin Abd. Al-Malik (724-634 M).[5]
Penyebab keruntuhan dinasti Umayah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sistem pergantian khalifah. Kedua, figur khalifah yang lemah. Ketiga, banyaknya pemberontakan oleh kaum khawarij, syiah, Oposisi Abdullah bin Zubair. Keempat, lahirnya kembali fanatisme kesukuan.[6]
Dinasti Abbasiyah adalah pelanjut dinasti Umayyah. Pendiri dinasti tersebut adalah Abu al-Abbas al-Saffah (w.754M/136H) yang didukung oleh kaum Mawali pimpinan Abu Muslim yang berasal dari Khurasan, yaitu orang muslim non-Arab.
Meskipun al-Saffah disebut sebagai pendiri Bani Abbasiyah, namun penggantinya Abu Ja’far Al-Mansur (w.776M/158H) yang harus disebut sebagai Pembina dan peletak dasar dinasti yang sebenarnya. Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaan pada masa Harun Al-Rosyid (w.809M/193H), perhatiannya lebih banyak di curahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan keperluan sosial sampai-sampai kehidupan mewah, kesenangan dan kebesarannya digambarkan dalam cerita seribu satu malam.
Adapun faktor kemunduran dinasti Abbasiyah ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal (persoalan politik dan ekonomi) dan faktor eksternal (perang salib, serangan pasukan Mongol).[7]
Secara umum periode klasik terbagi menjadi dua. Pertama, pada masa kemajuan dan keemasan Islam yang terjadi mulai tahun 650M sampai tahun 1000M. Sedangkan period kedua adalah masa kemunduran dan disintegrasi yang dimulai tahun 1000M hingga runtuhnya Baghdad pada tahun 1258 M.
2.         Fase Disentegrasi (1000-1250)
Merupakan fase pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, yang dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk menguasai satu sama lain. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
a.       Dinasti Buaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan oleh dinasti Saljuk, pimpinan Tughril Beg (1076 M).
b.      Dinasti Saljuk sewaktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan oleh Dinasti Hasysyasin, pimpinan Hasan bin Sabah. Meskipun dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urban (1096-1099 M).[8]


C.     Pengaruh Ajaran Islam terhadap Bangsa Arab
Pengaruh ajaran Islam terhadap bangsa Arab terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
a)  Islam Periode Mekkah
Pada periode Makkah, Nabi Muhammad saw lebih menitikberatkan pembinaan moral dan akhlak serta tauhid kepada masyarakat Arab yang bermukim di Makkah. Menurut catatan sejarah bahwa sebelum agama Islam datang masyarakat Mekkah merupakan penyembah berhala, terdapat sekitar 360 patung berhala, kepercayaan lain yakni menyembah api (zoroaster), penyembah binatang dan langit, penganut Yahudi juga ada. Zaman sebelum datangnya Islam disebut Zaman Jahiliyah.1 Kehidupan yang sangat getir dan keras ditengah gurun pasir menyebabkan orang arab masa itu mempunyai akhlak yang buruk, diantaranya :
a. Memandang rendah derajat manusia, membunuh bayi-bayi perempuan yang baru lahir karena takut akan mendatangkan aib bagi keluarga serta takut kelaparan.
b. Suka meninum khamr.
c. Suka berjudi, mengundi nasib, merampok dan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginan.
d. Menyembah berhala yang diletakkan disetiap rumah dan sudut kota.
e. Suka peperangan dan perselisihan.
Awalnya agama Islam hanya berkembang di daerah Mekkah, yang kemudian mulai berkembang meluas hingga ke daerah Madinnah, walaupun dengan cara sembunyi- sembunyi dan mendapat tantangan dari beberapa pihak yang tidak menyetujui masuknya Islam di Arab. Sehingga timbul berbagai perlawanan terhadap nabi Muhammad saw. sehingga nabi Muhammad lebih memilih hijrah kedaerah Madinnah(Yastrib) sehingga agama Islam menyebar hingga daerah Madinah dan sekitarnya.
b)  Islam Periode Madinah
Agama Islam mulai berkembang di Madinnah setelah nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinnah, dan agama Islam mulai diterima oleh masyarakat Madinnah, dan kota Madinnah menjadi kota Islam pertama kali setelah masuknya pengaruh agama Islam di Arab. Setelah dirasa tugasnya sudah selesai sebagai rasul Allah, nabi Muhammad pun wafat di Madinnah pada 632 M dan dimakamkan di Madinnah (di Ka’bah), sehingga perjuangan untuk mewartakan pengaruh Agama Islam dilanjutkan oleh para Khalifah- khalifah (Wakil Pengganti) Rasul Allah yang hanya dapat menggantikan dalam mengatur hidup menurut Islam yang disebut Kekhalifahan.
Diantara perubahan yang terjadi dibawah kepemimpinan Rasulallah SAW di madinah antara lain sebagai berikut:
a.      Segi Agama
Dari segi agama, bangsa Arab yang semula menyembah berhala berubah menganut agama Islam yang setia.
b.      Segi Kemasyarakatan (Sosial)
Di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, agama juga mementingkan soal pembentukan masyarakat. [9]Dari segi kemasyarakatan, semula bangsa Arab yang semua masyarakatnya tidak mengenal perimanusiaan, misalnya mereka saling membunuh, tidak menghargai martabat wanita, mereka berubah menjadi bangsa yang disiplin, respektif terhadap wanita dan perbudakan.
c.       Segi Politik
Dari segi politik, masyarakat Arab tidak lagi menjadi bangsa yang cerai berai karena kesukuan, tetapi berkat ajaran Islam, berubah menjadi bangsa yang besar bersatu dibawah bendera Islam, sehingga dalam tempo yang relatif singkat bangsa Arab menjadi bangsa besar yang dikagumi oleh bangsa lain.[10]
Dapat disimpulkan bahwa pengaruh ajaran Islam terhadap Bangsa Arab adalah sebagai berikut:
1.      Yang semula menyembah berhala berubah menjadi monotheis atau Tauhid yaitu hanya Allah satu- satunya Tuhan di dunia ini.
2.      Bangsa Arab yang dulunya nomaden, berubah menjadi masyarakat yang hidup menetap dan mengembangkan kemampuannya dalam bernegara dan bermasyarakat dengan baik.



PENUTUP
Simpulan
Pengaruh ajaran Islam terhadap bangsa Arab terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
a)  Islam Periode Mekkah
Pada periode Makkah, Nabi Muhammad saw lebih menitikberatkan pembinaan moral dan akhlak serta tauhid kepada masyarakat Arab yang bermukim di Makkah. Menurut catatan sejarah bahwa sebelum agama Islam datang masyarakat Mekkah merupakan penyembah berhala.
b)      Periode Madinah
Dari segi agama, bangsa Arab yang semula menyembah berhala berubah menganut agama Islam yang setia. Di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, agama juga mementingkan soal pembentukan masyarakat. Dari segi kemasyarakatan, semula bangsa Arab yang semua masyarakatnya tidak mengenal perimanusiaan, misalnya mereka saling membunuh, tidak menghargai martabat wanita, mereka berubah menjadi bangsa yang disiplin, respektif terhadap wanita dan perbudakan. Dari segi politik, masyarakat Arab tidak lagi menjadi bangsa yang cerai berai karena kesukuan, tetapi berkat ajaran Islam, berubah menjadi bangsa yang besar bersatu dibawah bendera Islam, sehingga dalam tempo yang relatif singkat bangsa Arab menjadi bangsa besar yang dikagumi oleh bangsa lain.



DAFTAR PUSTAKA
Aizid, Rizem.2003.Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern.Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Syaefuddin, Mahfudz dkk, 2013. Dinamika Peradaban Islam.Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta.
Fuadi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam.Yogyakarta: Sukses .
Adlan, Abd. Jabbar.2010.Sejarah dan Pembaharuan Islam.Surabaya: Sunan Ampel Press.
Yatim, Badri .1995.Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: PT Raja Gafindo Persada.



[1] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 92.
[2] Mahfudz Syaefuddin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 17.
[3] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), hlm. 34.
[4] Abd. Jabbar Adlan, Sejarah dan Pembaharuan Islam, (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2010), hlm 138.
[5] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 95.
[6] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), hlm. 89-94.
[7] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), hlm. 142-152.

[8] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 96.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 1995) hlm. 41
[10] Mahfudz Syaefuddin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 20.

ISLAM NUSANTARA

  Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?   Makassar,  NU Online Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara? Pertanyaan ini ...